Merawanin Pujaan Hatiku ~ Sangek Nihh

Wednesday, February 7, 2018

Merawanin Pujaan Hatiku



SangekNihh - Merawanin Pujaan Hatiku - Kali ini SangekNihh akan menceritakan Cerita Sex Terbaru ketika Aku Merawanin Pujaan Hatiku. Mau tahu kelanjutan ceritanya? Langsung aja yuk baca dan simak baik-baik pengalamanku ini.

Bermula ketika untuk kesekian kalinya dia Aku ajak main ke rumah. Awalnya seperti biasanya kami cuman cium-ciuman saja. Cium pipi, cium bibir, hal biasa kami lakukan. Entah setan apa yang lewat di benak kami.

Tangan kami mulai berani meraba-raba bagian lain, sebenarnya tidak pantas dilakukan oleh dua insan yang belum menikah. Ketika tangan Aku meraba payudaranya (kami masih berpakaian lengkap), dia sama sekali tidak menolak. Ini membuat Aku sedikit lebih berani untuk meremas payudaranya sedikit lebih keras. Ternyata dia menikmatinya.


Aku mencoba untuk melakukannya lebih jauh lagi. Kali ini tangan Aku perlahan-lahan Aku arahkan kebagian selangkangannya. Dia masih tidak menolak. Saat itu dia memakai celana panjang dari kain yang tipis, jadi Aku bisa merasakan lembutnya bibir kemaluannya.

Tanpa Aku sadari tangannya juga telah mengelus-elus selangkangan Aku. Mungkin karena pikiran Aku terlalu tegang, sampai-sampai Aku kurang memperhatikannya. Kurang masuk akal memang. Tapi itulah yang terjadi.

Kepasrahannya semakin melambungkan kekurangajaran Aku. Tangan Aku mulai menyelinap ke balik pakaiannya. Aku kembali meremas-remas payudaranya. Kali ini langsung menyentuh permukaan kulitnya. Aku lakukan sambil mencium lehernya dengan lembut. Suara desahan lembut mulai terdengar dari bibirnya, disaat Aku menyelipkan tangan Aku ke balik celana dalamnya. Ada sedikit rasa ragu ketika meraba bibir kemaluannya secara langsung.

Aku kumpulkan segenap keberanian Aku yang tersisa. Jari tengah Aku, Aku tekan sedikit demi sedikit dan perlahan ke belahan kemaluannya. Saat itulah dia tersentak dan menahan tangan Aku. Dia menatap mata Aku.

“Jangan dimasukkan ya Mas”, katanya.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Serta merta dia mencium bibir Aku. Sementara jari Aku masih mengelus-elus bibir kemaluannya. Lendir yang membasahi dinding vagina perawan nya, mulai merembes hingga ke bibir kemaluannya.

Aku mencoba untuk memintanya untuk menyentuh dan memegang kemaluan Aku. Ternyata dia tidak menolak. Terlihat jelas di raut mukanya, dia sedikit gugup ketika membuka rensleting celana Aku. Dan seakan malu memandang wajah Aku ketika dia mulai menggenggam kemaluan Aku. Untuk mengurangi ketegangannya Aku mencium bibirnya.

Selama lebih dari setengah jam kami hanya berani melakukan itu-itu saja. Kemudian Aku beranikan diri untuk mengajakknya menanggalkan semua pakaian. Dia terlihat ragu, dan hanya menunduk. Mungkin dia ingin menolak tapi takut membuat Aku kecewa.

“Kamu bener berani tanggung jawab”, katanya lagi.

Aku terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. Padahal dalam hati, Aku bertanya-tanya, benarkah Aku mampu bertanggungjawab ? Dia menanyakannya sekali lagi. Dan Aku mengiyakannya untuk kedua kalinya. Diapun mulai melepaskan kancing bajunya. Ketika Aku membantunya, dia menolak.

“Biar aku sendiri saja. Kamu lepas baju kamu.”, sahutnya.

Aku menurut saja. Dan tak lama kemudian, tak ada selembar benang pun pada tubuh kami. Telanjang bulat, walaupun dia masih menutupi payudaranya dengan tangan dan menyilangkan pahanya untuk menutupi kemaluannya. Aku memeluknya sambil berusaha menurunkan tangannya.

Dia menurut, saat Aku kembali meremas payudaranya dengan lembut. Kali ini tanpa diminta dia mau memegang kemaluan Aku sambil mengelus-elusnya. Entah karena terangsang atau karena Aku mengatakan mau bertanggungjwab tadi, dia menuntun tangan Aku untuk mengelus selangkangannya.

Agar dia tidak merasa malu, Aku terus mencumbunya. Dia menikmatinya sambil menekan jari Aku ke bibir kemaluannya, yang Aku rasakan semakin basah oleh lendir. Dia kemudian merebahkan tubuhnya. Dan Aku pun merebahkan tubuh Aku di atas tubuhnya. Kami kembali bercumbu. Kali ini sedikit lebih liar.

Suara desahan terdengar lebih nyaring daripada sebelumnya, ketika Aku mencubit clitorisnya. Ketika Aku sudah tidak tahan lagi, Aku mencoba “minta ijin” padanya untuk berbuat lebih jauh. Dia mengangguk sambil sedikit meregangkan belahan pahanya.

Setelah “mendapatkan ijin”, Aku mencoba memasukkan kemaluan Aku ke liang vagina perawan nya. Tapi sulitnya luar biasa. Berkali-kali Aku coba, tetapi belahan itu seakan-akan direkatkan oleh lem yang kuat. Ujung kemaluan Aku sampai sakit rasanya.

Dan dia pun meringis kesakitan, sambil sesekali memekik kecil, “Aduh. aduh”. Aku sedikit tidak tega juga. Aku hentikan sejenak usaha Aku itu, sambil kembali mengelus bibir kemaluannya, agar sakitnya sedikit berkurang.

“Masih sakit ?”, tanya Aku.
“Udah nggak begitu sakit.”, jawabnya.

Aku mencobanya lagi. Kali ini Aku minta dia membuka bibir vagina perawan nya lebih lebar. Alamak, masih susah juga. Padahal kata teman-teman Aku yang sudah sering berhubungan sex, kalau sudah basah pasti gampang.

Kenyataannya ujung kemaluan Aku sampai sakit gara-gara Aku paksa masuk. Aku hampir putus asa. Kemaluan Aku mulai lemas lagi karena Aku menjadi kurang konsentrasi. Tiba-tiba Aku teringat bahwa Aku pernah baca di majalah, ada jenis selaput dara yang sangat elastis dan relatif lebih tebal daripada yang normal.

Kepercayaan diri Aku mulai timbul lagi. Aku “mengusulkan” padanya, pakai jari Aku dulu. Maksud Aku supaya agak lebar lubangnya. Dia setuju saja. Walaupun Aku sadar selaput dara itu justru akan robek karena jari Aku, bukan karena kemaluan Aku, cara itu tetap Aku lakukan. Dari pada kami (terutama dia) kesakitan, lebih baik begini.

Mulanya Aku hanya menggunakan jari kelingking. Dia hanya mendesah sambil menggigit bibirnya. Kemudian Aku lakukan dengan jari tengah, sambil menggerakkannya naik turun. Dia masih hanya mendesah.

Kemudian Aku masukkan jari tengah dan telunjuk ke liang vagina perawan nya. Dia menjerit halus sambil menahan tangan Aku agar tidak masuk lebih dalam. Setelah dia melepaskan tangannya baru Aku lanjutkan lagi dengan sangat perlahan.

Setelah yakin sudah cukup, …

Aku mencoba kembali memasukkan kemaluan Aku ke liang vagina perawan nya. Aku menyibakkan bibir vagina perawan nya sementara dia mengarahkan kemaluan Aku. Memang sedikit lebih mudah sekarang. Tapi tetap saja dia merintih kesakitan. Aku pun masih merasakan sakit. Kemaluan Aku seperti diperas dengan sangat keras.

Setiap kali merasakan sakit (dan mungkin perih), dia menahan “laju” masuknya kemaluan Aku. Aku pun hanya berani melakukannya dengan sangat amat perlahan. Hati Aku benar-benar sangat tidak tega melihatnya merintih kesakitan. Tapi pada akhirnya kemaluan Aku bisa masuk seluruhnya.

Saat pertama kali berhasil masuk, Aku belum berani menariknya kembali. Kami hanya berciuman saja, supaya rasa sakit itu reda dahulu. Setelah itu baru Aku berani menggerakkan pinggul Aku maju mundur, tapi masih sangat pelan. Sementara tangannya tampak memegang erat ujung bantal, sambil terpejam dan mengigit bibirnya.

Setelah beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini Aku berada di bawah, sementara dia duduk di atas Aku. Dia Aku minta menggerakan pinggulnya naik turun. Dia hanya beberapa kali melakukannya. Dan berkata, “Aku nggak bisa”, sambil berguling ke samping Aku. Aku memeluknya dan mengelus rambutnya serta mencium keningnya.

Kemudian kembali merapatkan tubuh Aku ke atas tubuhnya. Aku memasukkan kembali kemaluan Aku ke liang vagina perawan nya. Kali ini gampang sekali. Di dorong sedikit langsung bisa masuk. Dan dia pun tidak lagi merintih kesakitan. Hanya mendesah halus.

Aku kembali menggerakkan pinggul Aku maju mundur. Aku coba lebih cepat. Rasanya licin sekali. Aku merasakan diantara kemaluan kami sangat basah oleh lendir bercampur keringat. Aku terus melakukannya sambil mencium bibirnya.

Kali ini dia lebih erotis. Dia sangat suka menghisap-hisap lidah Aku, yang sengaja Aku julurkan ke dalam mulutnya. Sementara tangannya tak henti-hentinya mengelus punggung dan pantat Aku. Sesekali Aku jilati puting susunya dengan lidah Aku. Namun dia lebih suka kalau Aku menghisap putingnya itu. Sebenarnya saat itu Aku kurang berkonsentrasi.

Pikiran Aku masih terbagi. Aku masih berpikir agar tidak membuat dia kesakitan. Mungkin karena itu Aku bisa bertahan agak lama. Kalau tidak mungkin Aku sudah mengalami ejakulasi.

Setelah cukup lama, tiba-tiba dia menyentakkan pinggulnya ke atas sambil menekan pantat Aku. Aku tidak tahu apakah saat itu dia mengalami orgasme atau tidak. Tapi yang jelas dia menahan posisi itu cukup lama. Setelah itu dia bilang bahwa dia capek.

Aku pun mengerti, dan walaupun belum mengalami ejakulasi, Aku mengeluarkan kemaluan Aku dari liang vagina perawan nya, dan tidur terlentang di sampingnya. Sekilas Aku lihat, di bibir kemaluannya ada lendir putih yang ketika Aku pegang terasa kental dan lengket, namun tidak kesat seperti halnya sperma.

Sepertinya dia tahu kalau Aku belum puas (yah namanya juga kurang konsentrasi). Dia duduk di sebelah Aku sambil kemudian menggenggam kemaluan Aku. Perlahan-lahan dia menggerakan tangannya naik turun.

Aku sangat menikmati perlakuannya ini. Payudaranya kembali Aku elus-elus. Sesekali Aku permainkan putingnya denga jari. Kali ini Aku tidak bisa bertahan lama. Ketika gerakan tangannya semakin cepat, Aku merasakan geli yang luar biasa di ujung kemaluan Aku. Dan Aku pun akhirnya mengalami ejakulasi. Dia menampung sperma Aku dengan telapak tangannya.

Kemudian membersihkan sisanya dengan tissue. Setelah mencuci tangan serta kamaluannya, dia kembali ke kamar dan mencium Aku. Dia kemudian merebahkan kepalanya di dada Aku. Sementara Aku mengelus-elus rambutnya.

Saat membenahi kamar sebelum mengantarnya pulang, pandangan Aku tertuju pada bekas tissue yang sebagian juga digunakan untuk membersihkan sisa lendir kemaluannya. Terlihat bercak-bercak merah tanda perawan pada beberapa lembar tissue. Tapi tidak banyak.

Aku memandangnya dan bertanya, “Masih berdarah nggak ?”
Dia menggeleng, dan menjawab, “Sudah nggak lagi, tadi sudah aku cuci.”

Setelah itu Aku mengantar dia pulang. Kalau tidak salah waktu itu sudah sekitar jam sembilan malam. Saat perjalanan kembali pulang, Aku berpikir. Dia sudah mengorbankan miliknya yang paling berharga kepada Aku. Dia berkorban karena dia percaya pada Aku.

Belum pernah dalam hidup Aku, ada orang yang sebegitu percayanya pada Aku. Bahkan jauh melebihi kepercayaan orang tua Aku, yang lebih sering memberikan uang belaka daripada sebuah kepercayaan yang tulus. Kepercayaan yang diberikannya adalah pemberian yang tak ternilai harganya.

0 komentar:

Post a Comment