SangekNihh - Perjakaku Hilang Dengan Terapis - Kali ini
SangekNihh akan menceritakan Cerita Sex Terbaru ketika Perjakaku Hilang Dengan
Terapis. Mau tahu kelanjutan ceritanya? Langsung aja yuk baca dan simak
baik-baik pengalamanku ini.
Sebagai seorang konsultan aku sering pergi keluar kota dan
menginap di hotel hingga berminggu-minggu lamanya. Seringnya menginap sekamar
bareng dengan anggota tim lainnya namun kadang juga menginap sendirian.
Pekerjaanku yang bersifat projek jelas sering menuntut waktu ekstra dan kerja
keras sehingga membuatku mengalami keletihan baik fisik dan mental. Kalau sudah
begitu aku segera mencari tukang pijat untuk mengendorkan urat saraf yang telah
amat tegangnya.
Giliranku kali ini mendapatkan projek di kota B yang berhawa
sejuk dan merupakan kota idolaku. Dulu aku sempat lama berdiam di kota ini
ketika kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sebagaimana
projek-projek lain yang sering kukerjakan maka tidak ada perkecualian projek
ini juga menuntut energi dan pikiran ekstra keras karena ketatnya jadwal. Salah
satu hal yang menyebalkan di kota ini adalah masalah taxi yang buruk kondisinya
dan lagi jarang mau menggunakan argo sehingga harus selalu melakukan negosiasi
terlebih dahulu. Oleh sebab itu sering aku mencari hotel terdekat dengan lokasi
projek sehingga dapat dicapai dengan jalan kaki hanya beberapa menit.
Minggu ini adalah puncak-puncaknya pekerjaan sehingga
keletihan amat sangat terasa. Hal ini menyebabkan aku malas pulang week end ke
kota J di mana aku tinggal. Kurencanakan Sabtu pagi besok saja untuk pulang
menggunakan kereta api. Karena anggota tim lain selalu pulang ke J (semuanya
berdomisili di J) di akhir minggu maka kini tinggal aku sendirian.
Setelah makan malam di restoran hotel aku masuk ke kamar
sambil nonton acara-acara TV. Berhubung hotel ini bukan hotel mewah maka
channel acara TV-nya pun terbatas, untuk mengirit ongkos operasional kali.
Setelah satu jam aku mulai dihinggapi kejenuhan. Mau tidur masih amat susah
karena malam begitu larut, baru jam 8an, dan badan yang amat letih ternyata
malah membuat sulit untuk segera beristirahat tidur. Tiba-tiba aku teringat
biasanya hotel ada info layanan pijat. Kucari-cari brosurnya tidak kutemukan.
Tanpa kurang akal kutelpon operator untuk menanyakan apakah di hotel ini bisa
dicarikan tukang pijat. Ah lega rasanya ketika dijawab bisa dan akan segera
diantar.
Sambil menunggu kedatangan tukang pijat aku mulai mencoba
kembali menikmati acara-acara di layar TV. Tapi ternyata pikiranku sudah mulai
melantur membayangkan nikmatnya ketika badan yang pegal hebat ini akan
mendapatkan terapi pijat yang pasti akan memanjakan urat dan saraf-saraf yang
telah mulai menuntut untuk dirilekskan sejak beberapa hari ini. Ah beginilah
nikmatnya masih bujangan (sebagai lelaki berusia 35 aku jelas termasuk telat
menikah, hehe biarin masih enak sendiri kok), waktu masih bisa diatur sesuka
hati. Coba kalau berkeluarga sebagaimana kawan-kawanku itu, pasti mereka harus
buru-buru pulang sementara masih harus berjuang untuk mendapatkan tiket kereta
karena penuhnya calon penumpang di akhir minggu.
Sejam kemudian ada suara ketukan pintu, ah sudah datang,
batinku dengan girang. Ketika kubuka aku agak sedikit heran karena tukang
pijatnya ibu-ibu berumur 45-an lebih kira-kira. Tinggi tubuh sekitar 155 cm,
berkulit kuning bersih, wajah sudah menunjukkan usianya yang memang sudah
matang. Dengan mengenakan jaket kain dan bercelana jean yang agak ketat. Dengan
santunnya dia permisi untuk masuk. Kupersilakan dia masuk sementara
pengantarnya yang adalah bell boy kemudian pergi meninggalkannya.
Setelah di dalam kamar kupersilakan duduk dulu di kursi
pojok kamar. Aku ijin sebentar ke toilet untuk pipis karena aku memang termasuk
orang yang nggak tahan dingin (sudah di kota yang dingin ber-AC pula) sehingga
sering pipis. Daripada nanti pas ditengah-tengah aksi pemijatan aku kebelet
mendingan kukeringkan dulu kantong pipisku. Kan nggak nyaman pas lagi
merem-melek dipijat eh kebelet pipis, pasti akan merepotkan.
Setelah selesai dari toilet kulepas kaos dan celana pendekku
sehingga tinggal CD saja. Lalu kulihat ibu itu membuka jaketnya sehingga hanya
memakai kaos ketat hitam saja. Wah ternyata si ibu ini masih bagus juga
badannya, kelihatan perut masih kencang. Tanpa banyak buang waktu langsung aku
tengkurap di atas ranjang. Ibu tukang pijat mendekat dan mengatakan maaf serta
mohon ijin untuk mulai pemijatan. Pertama yang dipijat adalah telapak kaki. Ah
nyamannya. Telapak kakiku yang telah kaku-kaku ditekan-tekan dan kemudian diurut.
Aku tak mau banyak bicara agar Si Ibu lebih fokus pada
pekerjaannya dan aku konsentrasi agar kenikmatan yang kuraih dari
pijatan-pijatan maksimal. Setelah selesai dari telapak kaki mulailah naik
menuju ke betisku yang tak kalah kakunya. Rupanya betis kaku kalau dipijat
menimbulkan rasa nyeri sehingga aku sedikit meringis. Rupanya Si Ibu tahu
kesakitanku lalu sedikit dikurangi tekanannya. Selesai ditekan-tekan kemudian
diurut-urut. Untuk urut dipakailah cream agar licin.
Begitu sampai menuju paha tiba-tiba kudengar suaranya..
“Den, maaf CD-nya dilepas saja biar nggak kotor kena minyak.
Maaf ya.”
Karena logis alasannya ya kulepas saja meskipun membuatku
kikuk (aku sering dipijat tetapi biasanya pria tuna netra). Aku lepas CD-ku
dengan hanya mengangkat pantat terus kuperosotkan keluar dari kaki. Menurutku
Si Ibu nggak dapat melihat “adikku”. Lalu aku mapan lagi agar pijatan dapat
diteruskan. Mulanya paha luar yang mendapatkan giliran. Setelah kedua sisi paha
luar selesai baru dilanjutkan dengan paha dalam. Dengan mengurut dari arah
bawah menuju atas, stop press!! Bisakah anda bayangkan?
Jari-jarinya, kayaknya ibu jarinya (aku nggak bisa lihat
sih) secara halus menyenggol kantong-kantong kejantananku. Serr. Kudiamkan.
Kemudian pantatku mulai dijamahnya dengan cara melingkar dari bawah ke atas
luar terus turun masuk ke dalam dan berakhir di.. Ujung selangkangan persisnya
tengah-tengah antara kedua kantong kejantananku. Serr. Serr. Uenak sekali. Aku
heran agak lama juga dia ini bermain di wilayah sensitif ini. Tapi biarlah,
enak ini. Hehe. Eh ketika sedang enak-enaknya menikmati jari-jari lihainya yang
baru pertama kali kunikmati sensasi kenikmatan tiada tara ini berlangsung tiba
mulai naik ke arah pinggang. Agak kecewa juga, tapi kutahan biarlah dia menyelesaikan
pekerjaannya sesuai dengan prosedur standar pemijatan yang dia praktekkan.
Begitu selesai dengan leher belakang sebagai bagian teratas
yang dirambahnya, tiba-tiba dengan ‘cool’-nya memerintahkan untuk telentang.
Wah kacau ini. Bisa ketahuan nih kalau adikku ternyata telah terjaga. Tapi ya
sudahlah biarkan segalanya berlalu dengan alamiah. Yang sudah telanjur tegak
biarlah begitu. Hehe.
Mulai lagi Si Ibu dari bawah yaitu bagian depan telapak
kaki. Mulai saat ini sudah tidak mampu lagi kunikmati pijatan dari detik ke
detik dan setiap inchi anggota tubuhku. Aku hanya memikirkan apa yang akan dia
lakukan ketika sudah merembet ke arah paha. Gara-gara pikiranku sudah terpandu
oleh kerja hormon testosteronku maka jelas sudah, adikku semakin percaya diri
untuk mengeras sebelum sentuhan terjadi.
Akhirnya tiba juga saat-saat yang kunantikan. Rupanya teknik
yang dia lakukan di bagian pantatku tadi dipraktekkan juga di bagian depan.
Aduh Mami, enaknya minta ampun, eh nambah. Sempat kutatap wajahnya, kulihat
sekilas-sekilas dia melirik adikku. Hmm rupanya dia ingin tahu efek pijatannya
apakah membuahkan hasil atau tidak. Dan tidak salah dia. Sukses besar. Bahkan
si adik telah sedikit menitikkan cairan.
Ketika itu dia mencuri pandang ke aku. Aku menangkapnya.
Mulai kuamati wajahnya untuk melihat lebih jelas seperti apa sebenarnya tampang
Ibu ini. Biasa aja. Tidak menarik. Bahkan sudah ada beberapa kerutan. Sedikit.
Tidak terlalu muluslah wajahnya. Tapi tidak berpengaruhlah itu karena nyatanya
adikku tetap saja berdiri kayak tonggak, sedikit miring karena gravitasi.
Lagi asyik-asyiknya melayang-layang imajiku akibat aksi
pijatan-pijatan yang berbentuk lingkaran-lingkaran itu tiba-tiba rambahannya
sudah menuju perut. Ah. Sedikit down. Sedikit kecewa. Tunggu dulu, rupanya
ketika di perut masih ada harapan untuk mendapatkan sentuhan-sentuhan dahsyat
itu. Ketika gerak maju-mundur di perut dengan formasi melingkar luar-dalam
juga, ternyata setiap mundur gerakannya dibablaskan sehingga si adik tetap bisa
menikmati sentuhan-sentuhan. Bedanya sekarang yang mendapatkan anugerah adalah
bagian kepala adik. Sip. Sip bener ini. Kok ya ada tukang pijat sehebat ini. Apakah
karena sudah ibu-ibu maka pengalamannya memijat bertahun-tahun yang membuatnya
menjadi piawai begini? Mustinya iya.
Lalu, akhirnya pijatan di akhir bagian dada. Begitu
selesai..
“Mau diapain lagi Den?”
“Maksud Ibu?” Tukasku.
Tersenyum simpul dia dan.. Tahu-tahu tangannya pura-pura
pijat-pijat lagi di selangkangan tetapi dengan titik kontak gesekan ke ‘adik’
semakin besar dan lama.
“Oh tahu aku maksudnya”, pikirku.
Tanpa kujawab mulai kuelus punggungnya (dia duduk di pinggir
ranjang dengan membelakangi). Dia diam dan mulai berani hanya mengelus khusus
adikku saja, tidak lagi pura-pura menyentuh bagian lain. Kusingkap pelan
kaosnya. Astaga, rupanya kondisi dalamnya terawat mulus. Tak kusangka padahal
sudah seumur itu. Menggelegaklah kelelakianku. Tanpa terkontrol lagi aku yang
tadinya telentang bangkit duduk sehingga punggungnya berhadapan dengan tubuh
depanku dan tanganku yang kiri menyingkap kaosnya lebih ke atas lagi sementara
yang kanan ke depan menjamah sang.. Tetek.
Dia sengaja mencondongkan dirinya ke arahku agar lebih
mepet. Kulepas kaosnya dan dibantu dia sehingga sekarang setengah telanjang
dia. Eits! Bulu keteknya nggak dicukur. Gairahku malah semakin meledak,
kubalikkan badannya agar menghadapku. Dia menunduk mungkin malu atau minder
karena umur atau ketidak cantikannya, entahlah, yang pasti dia telah dengan
ahlinya melepaskan ‘nafsuku’ dari kandangnya. Kurebahkan dia dengan masih tetap
pakai BH karena aku lebih suka menjamah teteknya dengan cara menyelinapkan
tangan.
Kuserbu keteknya yang berbulu agak lebat itu (kering tanpa
‘burket’, kalaupun ‘burket’ toh nafsuku belum tentu turun) sambil terus meremas
tetek. Kutindih dia. Celana jeans masih belum dilepas. Kususupkan tangan
kananku ke dalamnya. Menyentuh veginya. Basah. Kupindahkan serangan ciumanku ke
lehernya. Mendesah. Lalu mengerang-mengerang lembut dia. Kehabisan nafas aku,
ketika kutarik kepalaku naik untuk mengambil udara ditarik lagi kepalaku. Ah
rupanya ‘G-Spot’nya ada di leher belakang telinga sebelah kanan. Kuhajar lama
dengan dengusan napas hidungku di wilayah itu. Semakin liar polahnya. Tangan
kananku semakin dibasahi dengan banyak cairan. Kulepas tanganku dan kusuruh dia
bangkit.
“Lepaskan BH dan celana ya”.
Tanpa tunggu lama wajahnya yang sudah merah merona itu
mengangguk dan cepat-cepat semua yang kuingin lepas dilepasnya. Kupandangi
sebentar teteknya, masih lumayan bulat. Kupandangi veginya, wow alangkah
lebatnya. Kurebahkan lagi dengan segera. Kutindih lagi dia. Mengerang hebat.
Nafasku memburu berat. Kukangkangkan pahanya. Dan bless.. Rudalku telah
menghunjam ‘vegi’nya yang telah banjir itu. Kusodok-sodok sekuat tenaga.
Semakin keras erangannya. Kuseret pahanya ke pinggir ranjang, dengan berdiri
kuangkat kakinya menumpang di pundakku, kuarahkan kembali rudalku menuju veginya
yang lenyap ditelan jembut. Kusibakkan terlebih dulu, lalu bless.. Bless.
“Argh.. Arghh.. Yang cepeth Denn Arghh.. Kencangin laggih
Denn.. Auhh.. Ahh..”
Menjelang 10 menit mulai terasa hangat adikku.
“Akkhu.. Sudahh mauu.. Kelluaar.. Bikk.. Ahh.. Ahh”.
“Akkh.. Bibikh.. Jugah.. Denn. Ahh.. Argh”.
Dan tanpa dapat dibendung lagi jebollah lahar panas dari
rudalku menyemburi lembahnya yang rimbun itu. Pada saat yang bersamaan. Sensasi
kimiawi dari surga telah mengurasku menuju keletihan. Entah kenapa badanku yang
sebelumnya sudah letih banget ternyata masih mampu mengeluarkan tenaga sebesar
ini. Ibu ini memang lihai. Luar biasa kuakui.
Setelah berbaring-baring sekitar 15 menit Si Ibu minta ijin
ke toilet untuk bersih-bersih diri. Kusiapkan amplop untuk memberinya
kompensasi atas jasa kenikmatan luar biasa yang baru sekali ini kurasakan
seumur hidupku. Tanpa dibukanya amplop itu sambil mengucapkan terima kasih
dengan sopan, dia keluar kamar setelah mengenakan jaketnya kembali.
Sejak mengenal kenikmatan ‘pijat hotel’ itu, aku mulai
sering mencoba-coba. Di kota B banyak sekali panti-panti yang berkedok pijat
namun sesungguhnya yang ditawarkan adalah lebih dari sekadar pijat. Awalnya
kucoba yang muda-muda dan cantik, akhirnya aku kembali mencari yang telah
senior karena yang masih muda kuanggap belum banyak pengalaman dan tidak banyak
kenikmatan yang kuraih. Di samping itu lebih aman secara kesehatan dengan yang
tua karena jarang dipakai, sementara yang muda dan cantik laris diantri banyak
pria dari berbagai lapisan dan dengan kondisi kesehatan yang sulit terkontrol
pula.
0 komentar:
Post a Comment